Selasa, 27 Agustus 2013

Bangga Menjadi Ibu Rumah Tangga

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

Penulis: Ummu Ayyub
Muroja’ah: Ust Abu Ahmad

Hebat rasanya ketika mendengar ada
seorang wanita lulusan sebuah
universitas ternama telah bekerja di
sebuah perusahaan bonafit dengan
gaji jutaan rupiah per bulan. Belum
lagi perusahaan sering menugaskan
wanita tersebut terbang ke luar
negri untuk menyelesaikan urusan
perusahaan. Tergambar seolah
kesuksesan telah dia raih. Benar
seperti itukah?
Kebanyakan orang akan beranggapan
demikian. Sesuatu dikatakan sukses
lebih dinilai dari segi materi
sehingga jika ada sesuatu yang tidak
memberi nilai materi akan dianggap
remeh. Cara pandang yang demikian
membuat banyak dari wanita
muslimah bergeser dari fitrohnya.
Berpandangan bahwa sekarang
sudah saatnya wanita tidak hanya
tinggal di rumah menjadi ibu, tapi
sekarang saatnya wanita
‘menunjukkan eksistensi diri’ di luar.
Menggambarkan seolah-olah tinggal
di rumah menjadi seorang ibu
adalah hal yang rendah.
Kita bisa dapati ketika seorang ibu
rumah tangga ditanya teman lama
“Sekarang kerja dimana?” rasanya
terasa berat untuk menjawab,
berusaha mengalihkan pembicaraan
atau menjawab dengan suara lirih
sambil tertunduk “Saya adalah ibu
rumah tangga” . Rasanya malu!
Apalagi jika teman lama yang
menanyakan itu “sukses” berkarir di
sebuah perusahaan besar. Atau kita
bisa dapati ketika ada seorang
muslimah lulusan universitas
ternama dengan prestasi bagus atau
bahkan berpredikat cumlaude
hendak berkhidmat di rumah
menjadi seorang istri dan ibu bagi
anak-anak, dia harus berhadapan
dengan “nasehat” dari bapak
tercintanya: “Putriku! Kamu kan
sudah sarjana, cumlaude lagi!
Sayang kalau cuma di rumah saja
ngurus suami dan anak.” Padahal,
putri tercintanya hendak berkhidmat
dengan sesuatu yang mulia, yaitu
sesuatu yang memang menjadi
tanggung jawabnya. Disana ia ingin
mencari surga.
Ibu Sebagai Seorang Pendidik
Syaikh Muhammad bin Shalih al
‘Utsaimin rahimahullah mengatakan
bahwa perbaikan masyarakat bisa
dilakukan dengan dua cara: Pertama,
perbaikan secara lahiriah, yaitu
perbaikan yang berlangsung di
pasar, masjid, dan berbagai urusan
lahiriah lainnya. Hal ini banyak
didominasi kaum lelaki, karena
merekalah yang sering nampak dan
keluar rumah. Kedua, perbaikan
masyarakat di balik layar, yaitu
perbaikan yang dilakukan di dalam
rumah. Sebagian besar peran ini
diserahkan pada kaum wanita sebab
wanita merupakan pengurus rumah.
Hal ini sebagaimana difirmankan
Allah subhanahu wa ta’ala yang
artinya:
“Dan hendaklah kalian tetap di
rumah kalian dan janganlah kalian
berhias dan bertingkah laku seperti
orang-orang jahiliyah yang dahulu
dan dirikanlah sholat, tunaikanlah
zakat dan taatilah Allah dan Rasul-
Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud
hendak menghilangkan dosa kalian,
hai Ahlul Bait dan membersihkan
kamu sebersih-bersihnya.” (QS. Al-
Ahzab: 33)
Pertumbuhan generasi suatu bangsa
adalah pertama kali berada di
buaian para ibu. Ini berarti seorang
ibu telah mengambil jatah yang
besar dalam pembentukan pribadi
sebuah generasi. Ini adalah tugas
yang besar! Mengajari mereka
kalimat Laa Ilaaha Illallah ,
menancapkan tauhid ke dada-dada
mereka, menanamkan kecintaan
pada Al Quran dan As Sunah sebagai
pedoman hidup, kecintaan pada
ilmu, kecintaan pada Al Haq,
mengajari mereka bagaimana
beribadah pada Allah yang telah
menciptakan mereka, mengajari
mereka akhlak-akhlak mulia,
mengajari mereka bagaimana
menjadi pemberani tapi tidak
sombong, mengajari mereka untuk
bersyukur, mengajari bersabar,
mengajari mereka arti disiplin,
tanggung jawab, mengajari mereka
rasa empati, menghargai orang lain,
memaafkan, dan masih banyak lagi.
Termasuk di dalamnya hal yang
menurut banyak orang dianggap
sebagai sesuatu yang kecil dan
remeh, seperti mengajarkan pada
anak adab ke kamar mandi. Bukan
hanya sekedar supaya anak tau
bahwa masuk kamar mandi itu
dengan kaki kiri, tapi bagaimana
supaya hal semacam itu bisa
menjadi kebiasaan yang lekat
padanya. Butuh ketelatenan dan
kesabaran untuk membiasakannya.
Sebuah Tanggung Jawab
Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman, yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman,
peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka yang bahan bakarnya
manusia dan batu, penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, yang
keras, yang tidak mendurhakai Allah
terhadap apa yang diperintahkan-
Nya kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang
diperintahkan.” (QS. At Tahrim: 6)
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
yang artinya: “Peliharalah dirimu
dan keluargamu!” di atas
menggunakan Fi’il Amr (kata kerja
perintah) yang menunjukkan bahwa
hukumnya wajib. Oleh karena itu
semua kaum muslimin yang
mempunyai keluarga wajib
menyelamatkan diri dan keluarga
dari bahaya api neraka.
Tentang Surat At Tahrim ayat ke-6
ini, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu
‘anhu berkata, “Ajarkan kebaikan
kepada dirimu dan
keluargamu.” (Diriwayatkan oleh Al
Hakim dalam Mustadrak-nya
(IV/494), dan ia mengatakan hadist
ini shahih berdasarkan syarat
Bukhari dan Muslim, sekalipun
keduanya tidak mengeluarkannya)
Muqatil mengatakan bahwa maksud
ayat tersebut adalah, setiap muslim
harus mendidik diri dan keluarganya
dengan cara memerintahkan mereka
untuk mengerjakan kebaikan dan
melarang mereka dari perbuatan
maksiat.
Ibnu Qoyyim menjelaskan bahwa
beberapa ulama mengatakan bahwa
Allah subhanahu wa ta’ala akan
meminta pertanggungjawaban setiap
orang tua tentang anaknya pada hari
kiamat sebelum si anak sendiri
meminta pertanggungjawaban orang
tuanya. Sebagaimana seorang ayah
itu mempunyai hak atas anaknya,
maka anak pun mempunyai hak atas
ayahnya. Jika Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman, “Kami wajibkan
kepada manusia agar berbuat baik
kepada kedua orang tuanya.” (QS. Al
Ankabut: 7), maka disamping itu
Allah juga berfirman, “Peliharalah
dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang berbahan bakar
manusia dan batu.” (QS. At Tahrim:
6)
Ibnu Qoyyim selanjutnya
menjelaskan bahwa barang siapa
yang mengabaikan pendidikan
anaknya dalam hal-hal yang
bermanfaat baginya, lalu ia
membiarkan begitu saja, berarti
telah melakukan kesalahan besar.
Mayoritas penyebab kerusakan anak
adalah akibat orang tua yang acuh
tak acuh terhadap anak mereka,
tidak mau mengajarkan kewajiban
dan sunnah agama. Mereka menyia-
nyiakan anak ketika masih kecil
sehingga mereka tidak bisa
mengambil keuntungan dari anak
mereka ketika dewasa, sang anak
pun tidak bisa menjadi anak yang
bermanfaat bagi ayahnya.
Adapun dalil yang lain diantaranya
adalah firman Allah subhanahu wa
ta’ala yang artinya:
“dan berilah peringatan kepada
kerabatmu yang dekat.” (QS asy
Syu’ara’: 214)
Abdullah bin Umar radhiyallahu
‘anhuma mengatakan bahwa
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda (yang artinya),
“Kaum lelaki adalah pemimpin bagi
keluarganya di rumah, dia
bertanggung jawab atas keluarganya.
Wanita pun pemimpin yang
mengurusi rumah suami dan anak-
anaknya. Dia pun bertanggung jawab
atas diri mereka. Budak seorang pria
pun jadi pemimpin mengurusi harta
tuannya, dia pun bertanggung jawab
atas kepengurusannya. Kalian semua
adalah pemimpin dan bertanggung
jawab atas kepemimpinannya.” (HR.
Bukhari 2/91)
Dari keterangan di atas, nampak
jelas bahwa setiap insan yang ada
hubungan keluarga dan kerabat
hendaknya saling bekerja sama,
saling menasehati dan turut
mendidik keluarga. Utamanya orang
tua kepada anak, karena mereka
sangat membutuhkan bimbingannya.
Orang tua hendaknya memelihara
fitrah anak agar tidak kena noda
syirik dan dosa-dosa lainnya. Ini
adalah tanggung jawab yang besar
yang kita akan dimintai
pertanggungjawaban tentangnya.
Siapa Menanam, Dia akan Menuai
Benih
Bagaimana hati seorang ibu melihat
anak-anaknya tumbuh? Ketika
tabungan anak kita yang usia 5
tahun mulai menumpuk, “Mau untuk
apa nak, tabungannya?” Mata
rasanya haru ketika seketika anak
menjawab “Mau buat beli CD
murotal, Mi!” padahal anak-anak lain
kebanyakan akan menjawab “Mau
buat beli PS!” Atau ketika ditanya
tentang cita-cita, “Adek pengen jadi
ulama!” Haru! mendengar jawaban
ini dari seorang anak tatkala ana-
anak seusianya bermimpi “pengen
jadi Superman!”
Jiwa seperti ini bagaimana
membentuknya? Butuh seorang
pendidik yang ulet dan telaten.
Bersungguh-sungguh, dengan tekad
yang kuat. Seorang yang sabar untuk
setiap hari menempa dengan
dibekali ilmu yang kuat. Penuh
dengan tawakal dan bergantung
pada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Lalu… jika seperti ini, bisakah kita
begitu saja menitipkannya pada
pembantu atau membiarkan anak
tumbuh begitu saja?? Kita sama-
sama tau lingkungan kita bagaimana
(TV, media, masyarakat,…) Siapa lagi
kalau bukan kita, wahai para ibu -
atau calon ibu-?
Setelah kita memahami besarnya
peran dan tanggung jawab seorang
ibu sebagai seorang pendidik,
melihat realita yang ada sekarang
sepertinya keadaannya menyedihkan!
Tidak semua memang, tapi banyak
dari para ibu yang mereka sibuk
bekerja dan tidak memperhatikan
bagaimana pendidikan anak mereka.
Tidak memperhatikan bagaimana
aqidah mereka, apakah terkotori
dengan syirik atau tidak. Bagaimana
ibadah mereka, apakah sholat
mereka telah benar atau tidak, atau
bahkan malah tidak
mengerjakannya… Bagaimana
mungkin pekerjaan menancapkan
tauhid di dada-dada generasi
muslim bisa dibandingkan dengan
gaji jutaan rupiah di perusahaan
bonafit? Sungguh! sangat jauh
perbandingannya.
Anehnya lagi, banyak ibu-ibu yang
sebenarnya tinggal di rumah namun
tidak juga mereka memperhatikan
pendidikan anaknya, bagaimana
kepribadian anak mereka dibentuk.
Penulis sempat sebentar tinggal di
daerah yang sebagian besar ibu-ibu
nya menetap di rumah tapi sangat
acuh dengan pendidikan anak-anak
mereka. Membesarkan anak seolah
hanya sekedar memberinya makan.
Sedih!
Padahal anak adalah investasi bagi
orang tua di dunia dan akhirat!
Setiap upaya yang kita lakukan demi
mendidiknya dengan ikhlas adalah
suatu kebajikan. Setiap kebajikan
akan mendapat balasan pahala dari
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak
inginkah hari kita terisi dengannya?
Atau memang yang kita inginkan
adalah kesuksesan karir anak kita,
meraih hidup yang berkecukupan,
cukup untuk membeli rumah mewah,
cukup untuk membeli mobil
mentereng, cukup untuk membayar
10 pembantu, mempunyai keluarga
yang bahagia, berakhir pekan di
villa. Tanpa memperhatikan
bagaimana aqidah, bagaimana
ibadah, asal tidak bertengkar dan
bisa senyum dan tertawa ria di
rumah, disebutlah itu dengan
bahagia.
Ketika usia senja, mata mulai rabun,
tulang mulai rapuh, atau bahkan
tubuh ini hanya mampu berbaring
dan tak bisa bangkit dari ranjang
untuk sekedar berjalan. Siapa yang
mau mengurus kita kalau kita tidak
pernah mendidik anak-anak kita?
Bukankah mereka sedang sibuk
dengan karir mereka yang dulu
pernah kita banggakan, atau
mungkin sedang asik dengan istri
dan anak-anak mereka?
Ketika malaikat maut telah datang,
ketika jasad telah dimasukkan ke
kubur, ketika diri sangat
membutuhkan doa padahal pada
hari itu diri ini sudah tidak mampu
berbuat banyak karena pintu amal
telah ditutup, siapakah yang
mendoakan kita kalau kita tidak
pernah mengajari anak-anak kita?
Lalu…
Masihkah kita mengatakan jabatan
ibu rumah tangga dengan kata
‘cuma’? dengan tertunduk dan suara
lirih karena malu?
Wallahu a’lam
Sumber: Muslimah.com

Jumat, 31 Mei 2013

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

RESEP TAHU PEDAS (TAHU JELETOT)



Pengalaman pertama makan makanan ini waktu saya pulang ke bekasi,waktu ngeliat adik yang lagi makan tahu kok keliatannya heboh sendiri, padahal cuma makan tahu doang fikir saya.
daripada penasaran yaudah minta dikit deh buat nyobain,, ga taunya ternyata rasanya emang "hoooot" banget.. mata langsung melek seketika hehe..lebay ya tapi emang seperti itu kejadiannya.
tanpa basa-basi lagi langsung suruh si adik beliin lagi yang banyak biar bisa puas makannya,karena jujur aja saya termasuk pecinta rasa pedas.
tapi sayanganya ketika saya balik lagi ke bogor tahu pedas ini masih belum terkenal,jadi ketika saya ada keinginan buat makan tahu seperti itu lagi sangat susah buat mendapatkannya,sekalipun ada ternyata cuma ada dikotanya aja.

Senin, 22 April 2013

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

Hukum Merusak Rumah Tangga Orang Lain dalam Pandangan Islam

 

 Author:Musyaffa Ahmad Rohim, Lc

Dari Abî Hurairah –radhiyallâhu ‘anhu- ia berkata: “Rasulullâh – shallallâhu ‘alaihi wa sallam – bersabda: ‘Siapa menipu dan merusak (hubungan) seorang hamba sahaya dari tuannya, maka ia bukanlah bagian dari kami, dan siapa yang merusak (hubungan) seorang wanita dari suaminya, maka ia bukanlah dari kami’”. [Hadîts shahîh diriwayatkan oleh Ahmad, Al-Bazzâr, Ibn Hibbân, Al-Nasâ-î dalam al-Kubrâ dan Al-Baihaqî].